Kenapa aku selalu cari yang hemat dulu, romantis belakangan
Aku ingat perjalanan pertamaku yang benar-benar mandiri: ransel 12 kilogram, peta kertas yang udah kusobek-sobek, dan tujuan yang lebih banyak didorong rasa penasaran daripada rencana matang. Biaya menginap itu yang bikin jantung berdebar. Jadi aku belajar cepat: hemat bukan berarti pelit. Hemat itu seni. Hemat itu kebebasan untuk tambah satu destinasi lagi di itinerary.
Sekarang aku biasanya pasang budget harian di kepala sebelum cek tiket. Di Asia Tenggara, aku bisa nyaman dengan 20-35 USD per hari jika nginap di guesthouse yang bersih dan makan di warung. Di Eropa, itu berubah jadi 50-100 USD tergantung kota. Ada trik-trik sederhana yang selalu aku pakai—naik bus malam untuk hemat satu malam hotel, bawa botol minum isi ulang, dan sarapan di supermarket lokal.
Seni bikin itinerary: populer tapi fleksibel (jangan kaku!)
Itinerary populer itu nyaman karena sudah teruji—orang lain sudah lewat, tahu transport, tahu mana yang worth it. Tapi jangan dikunci. Misal: rencana 3 hari di Kyoto bisa disingkat kalau kamu jatuh cinta sama sebuah kuil kecil dan mau menghabiskan waktu di sana. Atau ditambah kalau kamu nemu festival jalanan dadakan.
Contoh kasar yang sering aku pakai sebagai kerangka:
– 3 hari kota besar: fokus museum, walking tour gratis, rooftop untuk sunset.
– 5 hari destinasi pantai/pedesaan: satu hari istirahat, satu hari eksplor lokal, satu hari trip ke pulau/situs terkenal, sisanya fleksibel.
– 7-10 hari multi-kota: dua malam per kota, perjalanan malam antar kota kalau memungkinkan.
Kalau mau inspirasi itinerary lengkap dan contoh budget per hari, aku sering nyenggol blog dan kalkulator perjalanan. Pernah juga pakai fedmatravel waktu nyusun rencana S-E Asia; artikelnya membantu banget untuk memetakan waktu dan opsi transportasi.
Review akomodasi dari pengalaman: apa yang dicari, apa yang dihindari
Aku tipe yang baca ratusan review sebelum memesan. Tapi pengalaman nyata selalu bilang lebih banyak. Berikut sedikit catatan akomodasi yang sering jadi pilihan hematku:
– Hostel dengan dapur bersama: hemat banget kalau kamu mau masak, dan sambil itu bisa ngobrol dengan traveler lain. Pilih yang punya loker pribadi dan check policy keamanan.
– Guesthouse lokal/guesthouse keluarga: biasanya ramah, sarapan sederhana tapi hangat, lokasinya sering di lingkungan yang asik. Di Maroko aku masih ingat teh mint hangat di riad kecil; suasananya lebih berkesan daripada hotel bintang.
– Capsule hotel ataupun business hotel kecil di Jepang: bersih, efisien, dan murah dibanding hotel biasa. Keterbatasan ruang terbayar dengan kenyamanan tidur yang baik.
– Airbnb atau apartemen kecil: bagus kalau kamu jalan berdua atau lebih, karena bisa masak sendiri dan menabung banyak untuk makan.
Punya pengalaman buruk juga: sekali, jendela kamar menghadap lorong ramai dan tidurku bolong. Sejak itu aku selalu cek foto jendela dan baca komentar soal kebisingan. Earplug jadi teman perjalanan yang wajib.
Tips praktis dan kecil yang sering dilupakan (tapi ngaruh besar)
Beberapa hal sepele tapi sering ngirit: bawa adaptor universal, bawa kantong laundry lipat supaya cuci pakai tangan bisa hemat waktu dan uang, dan simpan screenshot reservasi—kadang sinyal buruk atau aplikasi error. Gunakan kartu transport harian atau pass turis kalau kamu banyak naik kereta/bus; hitung dulu kalau lebih murah dibanding beli tiket per perjalanan.
Jangan lupa manfaatkan free walking tour—aku dapat wawasan sejarah dan rekomendasi makan lokal dari pemandu, cukup kasih tip. Dan satu lagi: fleksibilitas tanggal. Pergi di weekday, atau di shoulder season, bisa menghemat banyak dan membuatmu dapat akomodasi yang lebih asik tanpa antre panjang.
Akhir kata, perjalanan hemat itu soal prioritas: apa yang kamu rela korbankan demi pengalaman yang lebih besar? Aku memilih tidur nyenyak di penginapan sederhana daripada stres menghemat 5 dolar dan bangun bete. Karena pada akhirnya, cerita dan momen yang kita bawa pulang itu yang paling berharga.